Senin, 15 Agustus 2016

Tiga Dara (1956)

Baru satu film buatan Usmar Ismail yang sudah ketonton. Pertama ada Lewat Djam Malam (1954). Kebetulan waktu itu nonton yang versi restorasinya di bioskop dan itu merupakan pengalaman yang menyenangkan bisa nonton film jadul di layar lebar. Kali ini giliran Tiga Dara yang akan mendapat perlakuan sama. Kebetulan juga di sutradarai Usmar Ismail. Tentunya senang banget bisa nonton film Indonesia jadul sekali lagi di bioskop. Di banding Lewat Djam Malam yang bernuansa realis itu, ini merupakan karyanya yang bertujuan untuk menggaet penonton mainstream pada masa itu sehingga ceritanya tergolong simple and straight. Perlu diingat, ini adalah film musikal. Sedikit info, awalnya Usmar Ismail enggan mengerjakan film ini because it isn't his style to make a film like this. Namun karena saat itu Perfini (Perusahaan film Nasional) kekurangan dana. Akhirnya, film ini dibuat dengan bantuan dana dari pemerintah. Tujuannya, menarik banyak penonton dan sukses secara komersil.

Diceritakan ada tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Anak tertua namanya Nunung, kedua dan ketiga - Nana dan Neni. Karena sang ibu telah meninggal, maka tinggallah mereka bersama sang ayah dan sang nenek. Nah, sang nenek ini merasa kalau ajalnya sudah dekat. Ia ingin - mumpung masih hidup bisa melihat cucu tertuanya menikah. Masalahnya, Nunung ini anaknya kurang bisa membaur atau bergaul dengan orang lain. Beda dengan kedua adiknya. Akhirnya, berbagai upaya dilakukan agar bisa menjodohkan Nunung dengan seorang pria kemudian melangsungkan pernikahan. Namun, hal itu tidak mudah seperti kelihatannya.
Suatu hari saat Nunung sedang bepergian, ia tidak sengaja ditabrak oleh pengendara motor saat hendak menaiki becak. Kemudian, kita akan tahu kalau pengendara motor itu adalah seorang lelaki bernama Toto. Toto yang merasa bersalah kemudian mencoba mengunjungi rumah Nunung untuk meminta maaf. Sayang, Nunung tidak memperdulikannya. Seperti film romance pada umumnya, seiring berjalannya film kita akan tahu timbul perasaan di antara keduanya. Tapi diam-diam Nana menyukai Toto yang rupawan itu. Padahal, ada Herman yang sebenernya suka banget sama Nana. Bagaimana kelanjutannya? Well, silakan tonton sendiri :)

Untuk sebuah film yang sudah berumur 60 tahun, dari sisi teknis pembuatannya sudah lumayan untuk ukuran film yang dibuat pada zamannya. Dekorasi, sinematografi, tata suara, dll di tampilkan dengan baik di film ini. Karena ini film musikal, maka musik menjadi hal yang krusial disini. Semua adegan musikal dimana mengharuskan para pemerannya untuk bernyanyi, mampu tampil dengan baik. Transisinya terasa halus dan munculnya gak maksa. Koreografi pas adegan nyanyi-nyanyi di kemas cukup rapi. Ceritanya yang straight-forward mudah untuk di ikuti. Kita akan melihat Nunung yang kurang pergaulan, Nana yang atraktif, Neni yang bandel, Nenek yang cerewet, dan sebagainya. Sehingga penggambaran ceritanya tidak jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari. Surprisingly, orang -orang satu studio pada ketawa ngakak sama jokes film ini. Ini membuktikan kalau Tiga Dara masih relevan hingga kini. Meskipun enggan seperti yang ditulis pada paragraf pertama, Usmar Ismail tidak ingin setengah-setengah menggarap film ini. Beliau juga mengangkat budaya masyarakat pada zaman itu. Contohnya masalah perjodohan yang sangat mendominasi film ini. Di mana pada saat itu orang tua banyak ikut campur soal pilihan jodoh anaknya. Para orang tua pada masa itu masih percaya jika anak kedua menikah lebih dulu ketika anak pertama belum menikah, diyakini akan membawa sial bagi seluruh anggota keluarga.
Menonton film ini serasa menggunakan time machine. Kita seakan-akan kembali ke dalam dekade 50-an. Di film ini kita bisa melihat bagaimana kehidupan pada masa itu. Mulai dari segi gaya hidup, teknologi, kendaraan, fashion, dll. Sehingga kita bisa menggunakan film ini sebagai media untuk belajar sejarah. Saat adegan outdoor bisa sanggup membuat kita menerka-nerka latar tempat yang di gunakan untuk shooting pada saat itu dengan tempat yang ada pada zaman sekarang. Pas nonton cuma bisa nebak satu saja. Itu pun gak tahu bener apa nggak. Agak seneng gimana gitu bisa lihat kota Jakarta yang masih bersih dan tidak macet. Belum banyak gedung-gedung tinggi. Suasana pasca kemerdekaan atau era Orde Lama terpampang jelas pada film ini. Entah kenapa, adegan Toto dan Nana naik Vespa sekilas mengingatkan pada film Roman Holiday-nya Audrey Hepburn.

Lucu rasanya melihat bagaimana orang-orang yang punya kendaraan macam Vespa, mobil Chevr*let, dan mobil jip di anggap sangat keren pada masanya. By the way, kayak itu mobil jip impor beneran soalnya setirnya di sebelah kiri. Baru tahu kalau zaman dulu pas mau nonton bioskop tapi tiketnya udah sold out, bisa beli di calo (ini Indonesia banget - tapi kayaknya sudah gak ada sekarang). Intinya film ini adalah bagian dari sejarah Indonesia. Nonton film Tiga Dara itu ibarat menemukan harta karun yang terpendam lebih dari puluhan tahun. Every second of this film is little piece of Indonesian history. Saat filmnya berakhir, I began to feel that Usmar Ismail is a way ahead of his time. Beliau bisa bikin film yang temanya masih relevan untuk ditonton saat ini. Thank you for such a beautiful masterpiece, Mr. Usmar Ismail. I hope that our filmmaker today can make a great movie like this in the near future. Sebuah pengalaman menonton film yang tak terlupakan sepanjang hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar