Senin, 17 April 2017

The Twilight Zone: First Season (1959 - 1960)

Review kali ini berbeda dengan review-review sebelumnya. Jika biasanya saya menulis review film, ini untuk pertama kali saya menulis review untuk TV series. The Twilight Zone (TTZ) adalah yang menerima kehormatan untuk saya ulas. Pertama kali kenal dengan TTZ ini adalah ketika iseng-iseng searching di Google untuk mencari "best TV series of all time". Nah setelah melihat beberapa list, sering banget ketemu dengan yang namanya The Twilight Zone ini. Penasaran, akhirnya segera cari-cari infonya di situs macam Wikipedia hingga IMDb. Berdasarkan testimoni yang ada di situs-situs tersebut, TTZ ini termasuk series revolusioner di zamannya yang tayang mulai tahun 1959 hingga 1964 sebanyak lima season. Series ini dianggap paling maju pada zamannya. TTZ ini berformat anthology. Jadi series ini menawarkan cerita yang berbeda setiap episode-nya. TTZ di buat oleh Rod Serling dan juga menjabat sebagai penulis untuk beberapa episode. Setiap episode memiliki tema supranatural, fiksi ilmiah, thriller, dan terkadang horor. Di setiap episode itu pula seringkali disisipkan twist dan pesan moral yang luar biasa edan. Apalagi untuk ukuran tahun 1950-an. Kali ini saya akan mengulas season pertama TTZ yang tayang mulai 1959 hingga 1960. Buat season selanjutnya kapan-kapan aja deh. Pada season 1 ini, setiap episode selalu diawali dengan narasi oleh Rod Serling yang begini bunyinya:

"There is a fifth dimension beyond that which is known to man. It is a dimension as vast as space and as timeless as infinity. It is the middle ground between light and shadow, between science and superstition, and it lies between the pit of man's fears and the summit of his knowledge. This is the dimension of imagination. It is an area which we call THE TWILIGHT ZONE."

Episode 01: Where is Everybody?
Sinopsis: Seorang pria (Earl Holliman) mendapati dirinya berada di sebuah kota yang sepi dan tidak ada penduduknya sama sekali. Bukan itu saja, ia tidak mengingat siapa dia, di mana ia berada, dan tidak tahu di mana orang-orang berada. Kini ia berusaha mencari-cari jawaban atas apa yang sedang terjadi di kota itu sebenarnya.
Review: Inilah episode yang mengawali segalanya. Sepanjang durasinya, Where is Everybody? menggelontorkan banyak misteri. Dijamin anda akan penasaran dan betah menontonnya sampai selesai. Hampir 90% durasi episode ini adalah one man show. Kita akan mengikuti kemana pun Si Pria itu pergi. Kita juga sama tidak tahunya seperti Si Pria. Mungkin kita pernah membayangkan jika seandainya hidup sendirian di dunia ini tanpa ada orang lain, kita akan merasa bebas tanpa gangguan. Tapi Rod Serling menghajarmu dengan pesan moral yang jleb bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Mr. Serling juga memberikan sebuah twist yang tidak di sangka-sangka di penghujung durasi. 5/5

Episode 02: One for the Angels
Sinopsis: Lou Bookman (Ed Wynn) adalah pria paruh baya yang menghidupi dirinya dengan bekerja sebagai salesman. Ia adalah orang baik, sederhana, dan menyenangkan. Namun, semua berubah saat ia pulang. Ia mendapati sesosok yang mengaku bernama Mr. Death (Murray Hamilton). Mr. Death berkata kepada Lou kalau hidupnya akan berakhir pada tengah malam. Kini Lou mencari akal agar dirinya bisa menunda kematian. Tapi semua itu ada konsekuensinya.
Review: Lou Bookman adalah gambaran manusia yang terlalu mencintai urusan dunia dan takut akan kematian. Padahal ia adalah orang baik dan di jamin akan mati dengan tenang oleh Mr. Death. Menurut saya, Rod Serling mencoba memasukkan nilai-nilai relijius di dalamnya. Bahwa kematian akan datang sewaktu-waktu atas kehendak Tuhan. Kita tidak bisa menolaknya. Bagaimana pun kita berusaha menghindarinya, lama-lama kematian itu akan tetap datang kepada kita. One for the Angels memiliki ending yang mengharukan, namun di sisi lain kita akan bahagia melihatnya. 5/5

Episode 03: Mr. Denton on Doomsday
Sinopsis: Episode ini menggunakan tema western. Al Denton (Dan Duryea) adalah seorang penembak tercepat pada masa mudanya. Namun dulu ada satu kejadian yang membuat harga dirinya hilang. Kini ia menjadi seorang pemabuk. Tidak hanya itu, ia menjadi sasaran bully bagi Dan Hotaling (Martin Landau). Suatu ketika Al menemukan sebuah revolver. Dan mengetahui hal ini lalu mengajaknya berduel. Akhirnya Dan kalah. Berita ini tersebar cepat ke kota lain. Kini ada seorang penembak tercepat dari kota lain yang ingin menantang Al. Di saat yang sama Al bertemu dengan pria misterius bernama Henry J. Fate (Malcolm Atterbury) yang mengaku menjual segala "kebutuhan". Ia menawarkan obat yang bisa membuat Al menjadi penembak paling cepat di dunia.
Review: Menurut saya ini adalah episode yang tidak "segila" dua episode sebelumnya. Tidak ada twist yang sinting layaknya episode pertama di sini. Juga tidak ada unsur-unsur fantasi seperti pada episode dua. Meskipun demikian, Mr. Denton on Doomsday masih menyajikan pesan moral atau life lesson yang bagus. Al Denton adalah representasi orang-orang yang mencoba bangkit kembali setelah terpuruk. 3/5

Episode 04: The Sixteen-Millimeter Shrine
Sinopsis: Menceritakan seorang wanita bernama Barbara Trenton (Ida Lupino). Barbara dulunya adalah seorang aktris terkenal pada tahun 1930-an. Kini ia sudah tidak seberapa laku karena Barbara adalah orang yang keras kepala. Ia ngotot ingin berperan sebagai wanita muda yang jatuh cinta dalam sebuah film romance. Danny Weiss (Martin Balsam) - agennya - sudah berkali-kali bilang ia sudah tidak cocok dengan peran itu, begitupun juga dengan pihak studio. Sehari-hari Barbara hanya menghabiskan waktunya dengan menonton film-film terdahulunya. Sampai suatu hari, sebuah kejadian di luar nalar terjadi.
Review: Pada episode ini Rod Serling ingin memberitahu kita bahwa masih ada saja orang yang terjebak atau terlena dengan bayang-bayang kesukesan masa lampau. Semua itu di gambarkan pada karakter Barbara. Kita sebagai manusia mau tidak mau harus siap menghadapi apa pun yang ada sekarang maupun masa yang akan datang. Karena masa lalu tidak mungkin akan kembali lagi. 3.5/5

Episode 05: Walking Distance
Sinopsis: Seorang eksekutif periklanan bernama Martin Sloan (Gig Young) berhenti di sebuah pom bensin. Ia ingin mengganti oli mobilnya. Salah seorang montir di pom bensin itu bilang ia butuh waktu sejam membenahi mobil itu. Montir itu juga bilang kalau tidak ingin menunggu, Martin bisa menuju ke kota kecil terdekat yang bisa di tempuh dengan jalan kaki. Martin pun memutuskan mampir sebentar ke kota itu. Kita akan tahu kalau kota itu adalah tempat tinggal Martin sewaktu kecil. Namun, Martin tidak menyadari kalau ia sedang memasuki THE TWILIGHT ZONE.
Review: Saya yakin, Martin Sloan adalah representasi dari kita semua. Ia adalah gambaran orang yang merindukan masa kecilnya. Ketika kehidupan dewasa terkadang melelahkan, kita mungkin akan terbiasa mengenang masa kecil kita. Tentang betapa indahnya masa itu. Suatu masa di mana hampir sepenuhnya menyenangkan dan tidak ada yang perlu di khawatirkan. Rod Serling succeed to give us a potrait of our society. Menurut saya, apa yang di sampaikan di episode ini entah kenapa masih relevan hingga sekarang. 5/5

Episode 06: Escape Clause
Sinopsis: Escape Clause menceritakan seorang pria bernama Walter Bedeker (David Wayne). Walter adalah orang yang suka marah, mengeluh, dan menyebalkan. Suatu ketika ia "mengaku" merasa sakit. Tapi dokternya bilang kalau Walter hanya berlebihan. Hal ini membuat ia berpikir kalau semuanya menyusahkan dia. Justru sebenarnya dia yang menyusahkan orang lain. Tak lama kemudian, datanglah seorang pria bernama Cadwallader (Thomas Gomez) yang tiba-tiba muncul di kamarnya Walter. Cadwallader menawarkan kemampuan untuk hidup abadi kepada Walter. Namun dengan satu syarat, yaitu Walter harus memberikan jiwanya kepada Cadwallader.
Review: Escape Clause adalah salah satu episode yang punya tema dark. Tapi nggak dark-dark amat, karena Rod Serling membawakan ceritanya dengan santai. Lebih tepatnya, Serling menyisipkan beberapa elemen black humor di dalamnya. Mungkin jika nanti menontonnya, kalian sepertinya sudah bisa menebak siapa Cadwallader sebenarnya. 4/5

Episode 07: The Lonely
Sinopsis: Berlatarkan waktu di masa depan. James Corry (Jack Warden) adalah seorang narapidana yang sedang menjalani hukuman penjara dan beberapa waktu lagi akan bebas. Tapi penjara yang ia huni bukan penjara biasa. Melainkan di tinggal sendirian di sebuah asteroid. Suatu saat, Kapten Allenby (John Dehner) memberikan surprise berupa robot wanita bernama Alicia (Jean Marsh) kepada James. Awalnya, James menolak karena ia ingin sesuatu yang nyata, yaitu manusia. Lama kelamaan, James mulai akrab dengan Alicia.
Review: The Lonely ini dramanya dapet banget. Rod Serling ingin memposisikan kita sebagai James Corry. Kira-kira apa yang akan kalian lakukan kalau jadi dia? James Corry adalah contoh orang yang haknya sebagai manusia utuh di renggut. Yaitu hak berupa bersosialisasi dengan orang lain. Kemudian datanglah Alicia yang merupakan robot. Apakah Alicia yang tidak lain merupakan robot dapat benar-benar menggantikan fungsi manusia seutuhnya? Meskipun mereka merasa saling melengkapi? Selain drama unsur psikologis pun bisa di dapatkan di episode ini. 4/5

Episode 08: Time Enough at Last
Sinopsis: Henry Bemis (Burgess Meredith) adalah pegawai bank yang kutu buku. Kegiatan sehari-harinya kebanyakan di habiskan dengan membaca buku. Sayang ia tidak bisa membagi waktu kapan ia harus baca buku dan mengerjakan hal lain. Hal itu membuatnya selalu di marahi oleh bosnya. Karena saat harus bekerja, ia malah asyik membaca buku. Suatu hari ia menyelinap masuk ke dalam brankas besar dengan harapan ia bisa membaca buku tanpa ada gangguan orang lain. Namun, sesuatu telah terjadi saat ia berada di dalam brankas tersebut.
Review: Jujur saya sempat berkata kasar waktu melihat ending-nya. Sebuah ending yang kurang ajar jahatnya. Time Enough at Last adalah sebuah tragedi. Henry Bemis adalah karakter yang sanggup membuat perasaan penontonnya campur aduk. Kita mungkin akan merasa jengkel dengan Henry. Tapi di lain sisi kita akan merasa iba dengan apa yang menimpanya di bagian akhir episode. Rod Serling dan Lynn Venable benar-benar memberikan sebuah pengalaman "nyesek" dengan episode ini. 5/5

Episode 09: Perchance to Dream
Sinopsis: Edward Hall (Richard Conte) mengunjungi seorang psychiatrist bernama Dr. Elliot Rathmann (John Larch) dengan keluhan tidak bisa tidur selama beberapa hari. Hal itu membuatnya sangat kelelahan. Edward tidak tidur dengan alasan ia selalu mengalami mimpi buruk berturut-turut. Ia bermimpi bahwa akan dibunuh oleh seorang wanita.
Review: Salah satu episode di The Twilight Zone yang agak nyeremin. Daya tarik utama episode ini tidak lain adalah mimpi dari Edward itu sendiri. Belum lagi twist yang muncul di penghujung durasinya. 3.5/5

Episode 10: Judgment Night
Sinopsis: Berlatarkan waktu saat Perang Dunia II. Carl Lanser (Nehemiah Persoff) adalah satu-satunya penumpang yang tidak ingat siapa ia sebenarnya dan kenapa ia bisa berada di kapal itu. Selagi mencari-cari tahu, ia menyadari bahwa akan ada sebuah kapal selam yang ingin menyerang kapal yang ia tumpangi.
Review: Judgment Night punya aura menegangkan dan mencekam sejak awal durasi. Kita sama tidak tahunya dengan Carl Lanser. Keunggulan episode ini adalah twist-nya. That twist so f*ckin' insane! Ibarat menonton versi hardcore dari sinetron-sinetron religi yang ada TV lokal. 5/5

Episode 11: And When the Sky Was Opened
Sinopsis: Terjadi sebuah kecelakaan pesawat dan tiga orang selamat. Mereka adalah Letkol Clegg Forbes (Rod Taylor), Mayor William Gart (Jim Hutton), dan Kolonel Ed Harrington (Charles Aidman). Satu orang sedang menjalani masa pemulihan di kamar, dua orang sedang asyik di bar. Ed izin kepada Clegg untuk menelpon orang tuanya. Anehnya, orang tuanya mengaku tidak punya anak bernama Ed Harrington. Kemudian, Ed mendadak hilang begitu saja. Clegg menyadari hal ini dan segera mencari keberadaan temannya itu. Sayang, Clegg akan menemui sebuah fakta yang mencengangkan.
Review: Gila, gila, dan gila. Itulah tanggapan saya setelah menonton episode ini. And When the Sky Was Opened dipenuhi dengan aroma misteri yang menyengat. Belum lagi ending-nya yang menghantui itu. Hal itu menjadikan episode 11 ini menjadi salah satu episode yang menyeramkan di season 1 ini. If you ask me about what the f*ck is going on, I would say "Well, maybe there's no answer or explanation... in THE TWILIGHT ZONE...". 4/5

Episode 12: What You Need
Sinopsis: Pedott (Ernest Truex) adalah pria tua yang bekerja sebagai pedagang keliling. Namun ia bukan sekedar pedagang biasa. Setiap ia menawarkan barang ke orang-orang, ia selalu bilang kalau barang itu adalah yang benar-benar mereka butuhkan. Ia tahu apa yang mereka butuhkan sebelum mereka sadar kalau butuh. Ajaibnya, semuanya menjadi kenyataan. Fred Renard (Steve Cochran) yang hidupnya sedang terpuruk menyadari hal itu. Ia berniat mengekploitasi kemampuan orang tua itu dengan harapan bisa mengembalikan kesejahteraan hidupnya.
Review: Rod Serling rupanya ingin memberikan sebuah pesan moral melalui episode ini. What You Need ingin menasehati kita agar jangan serakah. Karena sesungguhnya serakah itu akan membawa kita ke dalam kehancuran. Fred adalah representasi orang serakah itu. 3.5/5

Episode 13: The Four of Us Are Dying
Sinopsis: Arch Hammer (Harry Townes) adalah tukang tipu yang memiliki kemampuan luar biasa. Ia bisa mengganti-ganti wajahnya. Namun, semua itu ia gunakan untuk memperkaya diri. Lalu suatu kejadian tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Review: Bingung apa yang mau dibahas dari episode ini. Well, sebenarnya ini salah satu episode di season 1 yang biasa-biasa saja. The Four of Us Are Dying tidak memiliki sesuatu yang "wah" dibandingkan episode-episode yang lain. Meskipun harus diakui premisnya cukup menarik. 3/5

Episode 14: Third from the Sun
Sinopsis: William Sturka (Fritz Weaver) adalah seorang ilmuwan yang bekerja pada pemerintah. William menyadari bahwa akan terjadi suatu peperangan yang bisa menyebabkan kiamat. Ia dan temannya - Jerry Riden (Joe Maross) menyusun rencana untuk mencuri pesawat luar angkasa. Semua itu di lakukan untuk menyelamatkan diri dan keluarga mereka. Selain itu, mereka juga sudah menemukan sebuah planet yang sekiranya bisa di tinggali. Seseorang dari pemerintahan mengetahui hal ini dan berusaha mencegah mereka.
Review: Third from the Sun cukup baik dalam mempermainkan ekspetasi penontonnya. Di awal sampai pertengahan durasi mungkin tampak biasa-biasa saja. Hanya menceritakan sekelompok orang yang berusaha melarikan diri dan mencari planet baru. Tunggu sampai Rod Serling dan Richard Matheson menamparmu keras dengan twist ending yang luar biasa edan itu. Mungkin kita tidak akan menyadari kalau ending-nya akan seperti itu. 4/5

Episode 15: I Shot an Arrow into the Air
Sinopsis: Sebuah pesawat angkasa jatuh dan membuat tiga orang astronot terdampar di suatu tempat yang gersang. Mereka hanya memiliki persediaan bekal yang sedikit. Kini mereka harus berusaha bertahan dan memikirkan bagaimana keluar dari tempat itu sebelum persediaan terakhir habis. Mereka yakin posisi "planet" itu tidak jauh dari Bumi.
Review: I Shot an Arrow into the Air dijamin akan membuat penontonnya gregetan dengan ending-nya. Sebuah twist yang juga bisa dikatakan sebagai shocking ending. Campur aduk rasanya waktu ending dari episode ini. Antara goblok, lucu, dan kasihan melihatnya. 4/5

Episode 16: The Hitch-Hiker
Sinopsis: Pada episode ini kita akan dikenalkan dengan seorang wanita bernama Nan Adams (Inger Stevens). Nan sedang melakukan perjalanan dari Manhattan menuju Los Angeles mengendarai mobil. Perjalanannya kali ini sangat tidak menyenangkan. Ia selalu menemui seorang hitch-hiker (Leonard Strong) yang meminta tumpangan kepadanya. Tak peduli kemana pun Nan pergi, ia selalu ketemu dengan hitch-hiker itu. Siapa sebenarnya hitch-hiker itu dan mengapa Nan selalu menemuinya?
Review: Mungkin The Hitch-Hiker adalah episode di season 1 ini yang tema horornya kental sekali. It's haunting, thrilling, and (a little bit) disturbing. Performa dari Inger Stevens dan Leonard Strong adalah alasan The Hitch-Hiker menjadi salah satu episode yang memorable di season 1 atau mungkin The Twilight Zone keseluruhan. Strong menurut saya yang mencuri perhatian. Padahal aktingnya tidak banyak bicara dan gerak namun mampu membuat bulu kuduk merinding. I really loved that twist! 5/5

Episode 17: The Fever
Sinopsis: Flora (Vivi Janiss) dan Franklin Gibbs (Everett Sloane) adalah pasangan paruh baya yang sedang berlibur di sebuah kasino di Las Vegas. Franklin sebenarnya tidak tertarik dengan tempat itu. Suatu saat ia iseng-iseng mencoba slot machine. Tidak disangka ia menang. Sejak saat itu ia ingin bermain terus hingga akhirnya menjadi kecanduan. Ia yakin mesin itu memanggil-manggil dirinya.
Review: The Fever bercerita tentang manusia yang tidak pernah puas atas segala yang ia dapatkan. Memang, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang sulit untuk mencapai sebuah kepuasan. Manusia yang seperti itu digambarkan pada karakter Franklin. Mirip-mirip What You Need memang. 3/5

Episode 18: The Last Flight
Sinopsis: Bersettingkan pada Perang Dunia I, tepatnya tahun 1917. Setelah melarikan diri dari serbuan musuh, seorang pilot angkatan udara Inggris bernama William Terrance Decker (Kenneth Haigh) berusaha mencari tempat untuk mendarat. Sesaat ia mendarat, William menyadari sesuatu yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Ia berada di tahun 1959!
Review: The Last Flight mungkin tidak se-twisted episode yang lain. Ia lebih mengandalkan tema science fiction. Namun yang membuat episode ini masih bagus adalah jalinan kisahnya yang intriguing. Kita ikut dibuat bertanya perihal apa yang sebenarnya terjadi. Apakah William baru saja melakukan time travel? Tunggu saja sampai ending-nya. 3.5/5

Episode 19: The Purple Testament
Sinopsis: Letnan Fitzgerald (William Reynolds) adalah seorang tentara Amerika Serikat yang sedang bertugas di Filipina pada Perang Dunia II tahun 1945. Selama perang, Fitzgerald tiba-tiba mendapatkan kemampuan khusus, yakni bisa melihat cahaya di wajah seseorang. Namun, itu pertanda buruk. Karena cahaya tersebut menandakan seseorang itu akan meninggal. Fitzgerald berusaha menggunakan kemampuannya untuk menyelamatkan orang lain. Sayang, semua itu ada konsekuensinya.
Review: Selain unsur fantasinya yang kuat, The Purple Testament adalah salah satu episode yang depressing. Tak hanya itu, episode ini juga menampilkan horornya peperangan. Khususnya Perang Dunia II. Menurut saya, episode ini mirip-mirip One for the Angels. Hanya saja The Purple Testament lebih dark dan suram pengemasannya. 3.5/5

Episode 20: Elegy
Sinopsis: Mengambil latar waktu ratusan tahun di masa depan. Kurt Meyers (Jeff Morrow), Peter Kirby (Don Dubbins), adalah James Webber (Kevin Hagen) tiga astronot yang terdampar di suatu asteroid. Anehnya, asteroid itu mirip dengan Bumi ratusan tahun lalu. Lebih anehnya lagi, penduduk tempat itu diam membeku mirip mannequin challange.
Review: Akhirnya bisa ketemu lagi dengan episode yang punya twisted storyline. Elegy sukses memberikan pengalaman yang mencengangkan sekaligus mencekam. Mencekam saat kita menonton ending-nya dan akhirnya tahu asteroid itu sebenarnya tempat apa. 4.5/5

Episode 21: Mirror Image
Sinopsis: Millicent Barnes (Vera Miles) sedang menunggu bus di terminal dengan tujuan ke Cortland. Saat itu cuaca sedang tidak bersahabat. Hal itu menyebabkan bus tersebut akan datang terlambat. Millicent bertanya kepada petugas stasiun, namun petugas stasiun itu kesal karena Millicent sudah bolak-balik bertanya. Millicent kaget karena ia merasa baru pertama kali bertanya. Situasi bertambah runyam saat ia bertemu sesosok yang mirip dirinya.
Review: Mirror Image bisa dibilang punya storytelling yang lumayan mindf*ck. Saya kagum dengan akting Vera Miles yang sanggup memberikan kesan paranoid. Oh ya, pertama kali saya kenal Vera Miles ini waktu dia main film Psycho. Menghabiskan hampir 90% di satu tempat, Mirror Image berhasil memberikan pengalaman yang menakutkan sekaligus menegangkan. If you felt this episode didn't give an explanation, well my friend, sometimes there is no explanation - in THE TWILIGHT ZONE. 4.5/5

Episode 22: The Monsters Are Due on Maple Street
Sinopsis: Jalan Maple adalah komplek perumahan yang tenang dan damai. Penduduknya pun juga ramah-ramah. Dilihat dari tampilannya, Jalan Maple adalah tempat yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Suatu hari penduduk di sana melihat - yang sepertinya - pesawat jatuh dari langit. Tak lama kemudian semua peralatan elektronik mulai tidak berfungsi. Muncul anak lelaki yang bilang kalau semua itu adalah ulah para alien dan mereka sedang menyamar menjadi penduduk setempat. Orang-orang dewasa jelas menertawakan anak itu. Tetapi lama-kelamaan mereka mulai cemas dan curiga. Mereka mulai menuduh satu sama lain kalau di antara mereka adalah alien.
Review: Well, it's funny you know - apa yang Rod Serling coba sampaikan di sini mirip-mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Di mana masyarakat gampang percaya begitu saja tanpa menelisik kebenarannya lebih lanjut. Sudah begitu, mereka langsung nge-judge seenaknya. Menurut saya, Rod Serling menyampaikan satir terhadap masyarakat pada masa itu - yang entah kenapa masih relevan hingga sekarang. An excellent episode with a great moral value. 5/5

Episode 23: A World of Difference
Sinopsis: Arthur Curtis (Howard Duff) sedang berada di ruang kerjanya sambil berbincang-bincang santai dengan sekretarisnya. Ia berencana liburan bersama keluarganya dalam rangka merayakan ulang tahun putrinya. Saat ia hendak pulang, tiba-tiba seseorang berteriak "cut!". Arthur kebingungan. Kenapa? Karena ia secara mendadak berada di sebuah lokasi shooting.
Review: Tidak banyak yang bisa saya katakan untuk episode ini. Menurut saya, A World of Difference adalah - the 1960's version of David Lynch's Inland Empire. 4/5

Episode 24: Long Live Walter Jameson
Sinopsis: Walter Jameson (Kevin McCarthy) adalah seorang profesor sejarah yang sukses. Ia sudah mengajar mata kuliah tersebut selama 12 tahun dan terkenal dengan kemampuan mengajar yang baik sekali. Walter saat itu sedang bertunangan dengan Susanna Kittridge (Dodie Heath). Susanna adalah putri dari Profesor Sam Kittridge (Edgar Stehli) - teman sesama dosen sejarah. Sam sebenarnya menaruh curiga terhadap Walter. Ia merasa kalau selama 12 tahun Walter tidak menua sedikit pun. Walter merasa tidak bisa menghindar lagi. Akhirnya ia mengaku kalau ia memang di bekali dengan kemampuan hidup abadi.
Review: Mungkin banyak yang mengira kalau hidup abadi itu enak. Sebaliknya, Long Live Walter Jameson memberikan pandangan lain. Di episode ini dijelaskan kalau hidup abadi itu menyengsarakan. Semua itu gambarkan pada karakter Walter Jameson. Walter merasa kalau hidup abadi adalah sebuah kutukan. Gara-gara hal tersebut, ia terpaksa melihat semua orang yang dicintainya meninggal satu per satu. Menurut saya, episode ini punya pesan moral yang bagus. 3.5/5

Episode 25: People Are Alike All Over
Sinopsis: Sam Conrad (Roddy McDowall) dan Mark Marcusson (Paul Comi) adalah dua orang ilmuwan yang hendak pergi ke Planet Mars. Sam merasa cemas dengan apa yang akan mereka temukan di sana. Mark berusaha menenangkan Sam. Mark berkata kalau ia yakin kalau makhluk hidup di manapun mereka berada itu semuanya sama saja. Naas, pesawat mereka jatuh saat berusaha mendarat di Mars. Mark meninggal dalam kecelakaan tersebut. Sam kini tinggal seorang diri. Saat keluar dari pesawat, Sam mendapati penduduk Mars mirip sekali dengan manusia di Bumi. Hebatnya, mereka bisa bicara dengan bahasa manusia. Sam merasa apa yang dikatakan Mark ada benarnya. Namun, Sam tidak tahu ada agenda tersembunyi di planet itu.
Review: B*ngsat! Itulah satu kata yang tidak sengaja terucap saat melihat ending-nya. Menurut saya, Rod Serling adalah orang paling sarkastik yang pernah saya tahu. Sifatnya tersebut seringkali ia tuangkan dalam beberapa episode di The Twilight Zone. Termasuk People Are Alike All Over ini - yang mana adalah sebuah satir bagi kita sebagai manusia. Rod Serling mampu meramu sindirannya terhadap manusia menjadi cerita yang menarik. Bagian terbaik dari episode ini tentu saja adalah twist-nya yang luar biasa kurang ajar itu. 5/5

Episode 26: Execution
Sinopsis: Pada akhir abad 19, seorang pembunuh bernama Joe Caswell (Albert Salmi) sedang dieksekusi dengan cara di gantung. Saat tali sudah dipasangkan di lehernya, tiba-tiba Joe menghilang begitu saja. Kita akan tahu kalau Joe dipilih secara random oleh Profesor Manion (Russell Johnson). Joe adalah subjek bagi mesin waktu yang diciptakan oleh Prof. Manion. Joe penasaran dengan dunia barunya dan ingin melihat-lihat kehidupan masa kini. Manion sadar kalau Joe adalah seorang penjahat yang berbahaya. Ia berniat mengembalikan Joe ke tempat asalnya. Sayang, Joe berhasil menggagalkannya. Kini seorang pembunuh dari masa lalu sedang berkeliaran di abad 20.
Review: Menurut saya episode ini menyampaikan sebuah pesan moral kalau setiap perbuatan pasti dapat ganjarannya. Terlebih lagi itu perbuatan yang jahat. Jika seandainya kita bisa lolos dari hukuman seperti yang dilakukan oleh Joe, jangan senang dulu. Mungkin Tuhan menyiapkan balasan yang lebih pedih untuk kita. Good job, Mr. Serling! 3.5/5

Episode 27: The Big Tall Wish
Sinopsis: Bolie Jackson (Ivan Dixon) adalah seorang petinju yang akhir-akhir ini sulit meraih gelar juara. Bisa dibilang karirnya sedang mengalami penurunan. Meski demikian, ia puja-puja oleh Henry Temple (Steven Perry) - anak kecil yang tinggal satu apartemen dengannya. Luckily, Bolie sanggup meraih gelar juara pada pertandingan berikutnya. Sebenarnya itu ulah Henry yang memiliki kemampuan spesial. Bolie merasa kesal saat ia mengetahui hal itu. Ia merasa kalau kemenangan "ajaib" itu bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.
Review: Well, The Big Tall Wish mungkin terasa tidak keren-keren amat. Tapi tenang, episode ini masih menyenangkan untuk di tonton. Karena tone-nya yang tidak sesuram episode yang lain. The Big Tall Wish juga memiliki keunikan tersendiri. Episode ini menggunakan pemeran yang mayoritas berkulit hitam. 3/5

Episode 28: A Nice Place to Visit
Sinopsis: Henry Francis 'Rocky' Valentine (Larry Blyden) adalah seorang pencuri ulung. Suatu hari ia kepergok sedang mencuri oleh polisi. Lantas, ia melarikan diri. Sayang, ia mati tertembak oleh polisi. Saat terbangun ia bertemu dengan Mr. Pip (Sebastian Cabot) yang mengaku sudah lama kenal dengan Rocky. Rocky awalnya bersikap dingin terhadap Mr. Pip. Namun, lama-kelamaan ia mulai mendengarkan Mr. Pip. Karena Mr. Pip berkata kalau ia bisa mengabulkan semua yang Rocky inginkan. Mungkin kita bertanya-tanya saat menonton episode ini. Kenapa Rocky bisa hidup enak setelah kematiannya?
Review: A Nice Place to Visit adalah episode di season 1 yang punya pesan moral paling kurang ajar. Rod Serling dan Charles Beaumont memberimu sebuah konsep menarik seputar apa itu surga dan neraka. Sebuah konsep yang mungkin belum pernah terpikirkan oleh kita. Somehow, episode ini sukses membuat saya merenung. Menurut saya, episode ini lebih "jleb" pesan moralnya ketimbang buku Siksa Neraka yang dijual di depan SD saya dulu - yang cuma mengandalkan ilustrasi sadis nan menjijikkan. Mungkin jika saya berencana membuat sinetron religi saya akan menyewa Rod Serling untuk menulis ceritanya. Seandainya beliau masih hidup. A flawless episode! 5/5

Episode 29: Nightmare as a Child
Sinopsis: Menceritakan tentang seorang guru bernama Helen Foley (Janice Rule). Suatu hari ketika pulang ke apartemennya, ia bertemu dengan seorang gadis cilik bernama Markie (Terry Burnham). Anehnya, gadis cilik itu mengetahui semua hal tentang Helen, hal terkecil sekalipun. Ia juga mengetahui semua kegiatan Helen sebelum tiba di apartemen. Salah satunya ketika ia berkata ada seorang pria yang sedang mengikuti Helen. Benar saja, seorang pria bernama Peter Selden (Shepperd Strudwick) datang ke apartemen Helen. Ia mengaku sebagai rekan kerja ibunya Helen. Namun, Helen tidak ingat apapun tentang apa yang terjadi kepada ibunya. Perlahan tapi pasti, Helen menyadari dirinya sedang dalam bahaya.
Review: Jujur, Nightmare as a Child mudah sekali untuk ditebak kemana arah jalan ceritanya. Meski demikian, unsur fantasinya lah yang membuat episode ini masih terasa intriguing dan enak untuk diikuti. 3/5

Episode 30: A Stop at Willoughby
Sinopsis: Garth Williams (James Daly) - seorang eksekutif periklanan yang akhir-akhir ini sering apes. Saat bekerja dia di omelin habis-habisan oleh bosnya. Di rumah ia caci oleh istrinya yang merasa tidak bahagia hidup dengannya. Saat ia naik kereta dalam perjalanan pulang, ia tertidur. Saat terbangun ia mendapati berada di sebuah kereta kuno yang sedang berhenti di kota bernama Willoughby. Ia melihat kota Willoughby sebagai kota yang damai dan tenang. Saat hendak turun, ia terbangun dan sadar itu cuma mimpi. Aneh, setiap kali ia tertidur dalam perjalanan pulang ia selalu memimpikan Willoughby. Akhirnya ia memutuskan untuk turun ke kota itu dalam mimpinya.
Review: Garth Williams benar-benar merepresentasikan diri kita. Ada kalanya kita ingin rehat dari semua ketegangan realita kehidupan. Seringkali jika sedang dirundung masalah, kita sering kali mengeluh. Ujung-ujungnya ya tidur. Tidur? Ya, karena tidur adalah saat di mana kita benar-benar melupakan segala masalah untuk sejenak. Seperti yang telah digambarkan pada A Stop at Willoughby. Namun pada hakikatnya hidup selalu penuh dengan masalah. Tinggal bagaimana kita akan mengatasinya. Bukan "hidup" namanya jika tidak ada masalah. 5/5

Episode 31: The Chaser
Sinopsis: Roger Shackleforth (George Grizzard) tergila-gila dengan seorang wanita bernama Leila (Patricia Barry). Sayang, Leila tidak membalas rasa cinta Roger. Roger tidak menyerah begitu saja. Ia berusaha mati-matian agar Leila bisa cinta kepadanya. Usahanya membuahkan hasil. Ia bertemu dengan Prof. A. Daemon (John McIntire) yang menjual berbagai buku dan ramuan. Prof. Daemon menawarkan ramuan cinta seharga $1 kepada Roger. Tanpa berpikir panjang, Roger langsung membelinya.
Review: Lewat The Chaser, Rod Serling ingin menasehati kita. Jangan sekali-kali menggunakan pelet kalau kamu tidak mau hidup sengsara. Kalau kita suka sama seseorang, pakailah cara yang halal. Seseorang pernah bilang kalau cinta itu tidak bisa dipaksakan. Salah satu episode yang punya muatan humor. 3.5/5

Episode 32: A Passage from Trumpet
Sinopsis: Joey Crown (Jack Klugman) adalah musisi yang merasa hidupnya telah hancur. Merasa gagal dalam semua hal termasuk karir bermusiknya. Ia juga merasa hidupnya tidak berarti lagi. Orang-orang sudah kehilangan kepercayaan kepadanya. Itu semua karena Joey sendiri - ia adalah seorang alkoholik. Suatu hari, menabrakkan diri ke truk yang sedang lewat. Kemudian ia terbangun di sebuah dunia aneh. Dunia di mana orang-orang tidak bisa melihat dan mendengar dia. Namun, ada satu orang di sana yang bisa menyadari keberadaannya.
Review: Pernah berada dalam situasi seperti yang dialami oleh Joey? Saya yakin salah satu diantara kita pasti pernah merasakannya. Mungkin sebenarnya banyak Joey-Joey diluar sana. Menurut saya, Joey adalah karakter yang dekat dengan kehidupan kita. A Passage from Trumpet memberitahu kita bahwa ada alasan kenapa kita masih hidup. Kita tidak boleh putus asa dan harus berjuang. Bunuh diri seperti yang dilakukan oleh Joey bukanlah solusinya. 4/5

Episode 33: Mr. Bevis
Sinopsis: Pada episode ini kita akan berkenalan dengan James B. W. Bevis (Orson Bean). Bevis adalah orang yang eksentrik, periang, dan menyenangkan. Dia juga menyayangi anak-anak. Namun, sifatnya sangat mengganggu bosnya di kantor. Bosnya menganggap kalau Bevis punya sifat yang kekanak-kanakan dan langsung memecatnya. Bevis sedih dan pergi ke bar sebagai pelampiasannya. Saat sedang bersedih, ia di datangi oleh seseorang yang mengaku sebagai malaikat penjaganya. Malaikat itu bilang kalau ia akan mengabulkan semua permintaan Bevis. Bevis berharap seandainya ia bisa menjalani kehidupan yang berbeda.
Review: Mr. Bevis punya pesan moral yang bagus menurut saya. Kita benar-benar tidak bisa membuat semua orang senang. Jadilah diri kita apa adanya. Saya menyukai episode ini karena ia punya tone yang happy. Salah satu episode yang mampu memberikan motivasi baik bagi penontonnya. You made my day, Mr. Serling! 4/5

Episode 34: The After Hours
Sinopsis: Marsha White (Anne Francis) sedang mencari hadiah untuk ibunya di sebuah toko. Ia tidak menemukan apa yang ia cari di toko itu. Saat menaiki lift, seorang operator lift menyarankannya untuk mencari di lantai 9. Sesampainya di lantai 9, ia bertemu dengan mbak-mbak SPG yang langsung tahu barang apa yang dicari Marsha. Namun SPG itu melayani dengan kasar. Tidak terima, Marsha menuju ke tempat pengaduan costumer. Ia kaget bukan main saat karyawan di sana bilang tidak ada lantai 9 di toko itu.
Review: The After Hours mungkin adalah salah satu episode terseram di season 1 selain The Hitch-Hiker. Saya suka elemen horor yang disajikan oleh Rod Serling di sini. Not to mention, twist-nya yang susah di tebak itu. 4/5

Episode 35: The Mighty Casey
Sinopsis: Mouth McGarry (Jack Warden) adalah manajer bagi suatu tim baseball. Hanya saja, timnya seringkali kalah dalam pertandingan. Tidak lama kemudian, datanglah Dr. Stillman (Abraham Sofaer) yang menawarkan sebuah solusi untuk McGarry. Ia menyuruh McGarry untuk merekrut Casey (Robert Sorrells) - sebuah robot. Kehadiran Casey membawa dampak baik bagi timnya. McGarry berhasil memenangkan beberapa pertandingan. Suatu hari, McGarry meminta Dr. Stillman untuk memberi sebuah "hati" bagi Casey. Agar ia punya perasaan. Namun, hasilnya tidak seperti yang ia harapkan.
Review: Although it isn't good as any other episodes, The Mighty Casey is still worth to watch. It's entertaining and heart-warming. Sekilas episode ini kayak film-film buatan Disney. 3/5

Episode 36: A World of His Own
Sinopsis: Menceritakan pasangan suami-istri bernama Gregory West (Keenan Wynn) dan Victoria West (Phyllis Kirk). Gregory adalah seorang penulis naskah drama. Suatu hari Victoria memergoki suaminya sedang bersama wanita lain melalui jendela. Kemudian ia mencoba masuk ruangan itu agar Gregory kagok. Anehnya saat Victoria masuk, wanita itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Victoria menuduh sang suami melakukan perselingkuhan dan minta cerai. Gregory dengan santai menjelaskan semuanya. Kalau ia bisa menghidupkan tokoh ke dunia nyata dengan modal imajinasi saja.
Review: Entah kenapa, saya merasa kalau A World of His Own ini lucu. Saya suka pembawaannya yang enjoyable. Semua karakternya berperan dengan apik. Di episode terakhir ini, Rod Serling muncul sebagai cameo. Tidak hanya itu, ia juga melakukan "breaking the fourth wall" yang konyol. Mungkin zaman sekarang teknik tersebut kesannya biasa-biasa saja. Tapi untuk ukuran tahun segitu, hal tersebut merupakan sebuah terobosan. Jangan lupakan twist-nya yang lucu juga. 4.5/5

Sekian review saya untuk season pertama dari The Twilight Zone. Secara keseluruhan saya suka sekali dengan season pertama ini. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk langsung menyukainya. Semua itu berkat ide ceritanya unik, orisinil, dan kebanyakan punya pesan moral yang bagus. Kalau ada waktu mungkin saya juga akan me-review season keduanya.

8 komentar:

  1. Tiba2 teringat film yg ditonton waktu kecil. Kesannya mendalam banget dengan kisah2 yg menurutku misterius waktu itu. Paling teringat episode the after hours.
    Pengen nonton lagi semua episodnya... sama serial alfred hitchcock... dan serial friday the 13th. 🤩

    BalasHapus
    Balasan
    1. series-nya Hitchcock juga masuk watchlist saya

      Hapus
  2. Ka dpt twilight zone dmn? Aku cari2 susah bgt

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. tontonan dulu waktu masih smp... yang paling inget sih cerita tentang mesin untuk membantu biar bisa berhenti merokok. Sampe akhirnya orang tersebut berhenti merokok.., tapi endingnya lucu sekaligus ngeri juga kalo ada mesin seperti itu.

    BalasHapus
  5. Mau doong yg ada link sub indonesianya hehe

    BalasHapus