Rabu, 27 Juni 2018

Hereditary (2018)

Hereditary adalah film horor kedua yang saya tonton di tahun 2018 di bioskop setelah A Quiet Place. Saya memang cukup menantikan film ini sejak beberapa waktu lalu gara-gara melihat posternya saja. Tampilan posternya unik. Itulah yang membuat saya tertarik dengan filmnya. Saya pun belum menonton trailer-nya. Jadi, saya tidak tahu bagaimana film ini nantinya. Ketika film ini dirilis, saya pun tanpa berpikir panjang memutuskan untuk langsung menontonnya di bioskop.

Saat film ini memasuki opening-nya, kita akan tahu kalau Hereditary akan menjadi sajian horor yang berbeda dari yang lain. Film ini dibuka dengan title card berupa surat kematian. Mungkin baru lewat film ini saya baru melihat jenis opening seperti itu. Isi surat kematian tersebut sebagaimana surat kematian aslinya yang berisikan nama yang meninggal hingga waktu pemakaman. Kemudian ditunjukkan sebuah ruangan yang mana kamera bergerak perlahan menuju sebuah miniatur rumah. Kamera pun mendekati miniatur itu hingga berhenti pada suatu ruangan. Di ruangan itu lah kita akan berjumpa dengan aktor film ini.
Berkisah tentang sebuah keluarga yang terdiri pasangan suami-istri Steve (Gabriel Byrne) dan Annie (Toni Collette) dan dua anak mereka - Peter (Alex Wolff) dan Charlie (Milly Shapiro). Annie baru saja ditinggal oleh sang ibu. Di sinilah kita akan tahu siapa yang disebut dalam surat kematian yang kita saksikan di opening-nya. Hubungan Annie dengan ibunya tidaklah dekat dan terasa cukup aneh. Tidak sampai di situ saja, potret keluarga yang ditampilkan di film ini memang menyimpan sejumlah keanehan. Salah satunya sudah ditunjukkan pada karakter Charlie yang awalnya saya kira agak psycho.

Hereditary memanglah sajian horor yang berbeda dari kebanyakan. Film ini memang menyeramkan, sesuai yang kita harapkan saat menonton film horor. Di satu sisi, ia mungkin akan membuat penontonnya terjebak dalam rasa bosan. Karena film ini memiliki tempo yang lumayan lambat. Satu jam pertamanya terasa seperti sebuah drama keluarga. Namun tidak perlu khawatir, film ini tetap akan memberikan adegan-adegan yang sanggup memberikan rasa tegang.
Barulah satu jam terakhirnya film ini benar-benar menunjukkan "taringnya" secara perlahan tapi pasti. Di sinilah letak bukti kalau Ari Aster adalah sutradara yang berbakat. Suatu adegan yang terlihat tidak penting akan terasa besar pengaruhnya saat mendekati ending. Aster dengan lihai meletakkan berbagai clue penting sedari awal. Sehingga kita harus fokus agar tidak melewatkan detail-detail yang penting. Hereditary menutup kisahnya twist yang cukup menohok yang mungkin sanggup membuat penonton berkata "oh jadi ternyata gini...".

Menurut saya, semua para pemerannya berhasil memberikan penampilan terbaiknya. Tidak ada yang terasa kurang dari mereka. Toni Collette jelas yang paling mendominasi di sini. Ia mampu menampilkan transformasi karakter Annie dengan luar biasa. Meski mendominasi, Collette tidak pernah menghalangi pemeran lain untuk bersinar. Karakter Charlie yang diperankan oleh Milly Shapiro menurut saya mampu mencuri perhatian dengan sifatnya yang misterius dan (agak) menyeramkan.
Tempo yang lambat mungkin bisa menjadi salah satu kekurangan film ini. Hereditary hampir menghabiskan sebagian besar waktunya dengan dialog-dialog soal keluarga. Jika anda tipe penonton yang suka melihat banyak aksi, mungkin kemungkinan besar anda tidak akan menyukainya. Tapi kalau anda orang yang sabar dan menggemari film horor, maka ini adalah film untuk anda. Overall, Hereditary berhasil membuktikan dirinya sebagai salah satu film horor terbaik tahun ini. Selain itu, film ini juga berhasil meninggalkan kesan yang mendalam setelah menontonnya. Sepertinya, film ini akan terngiang-ngiang di kepala selama beberapa hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar