Jumat, 02 Februari 2018

The Seven-Per-Cent Solution (1976)

Siapa yang tidak kenal Sherlock Holmes? Detektif rekaan Sir Arthur Conan Doyle ini tidak pernah meredup popularitasnya sejak dipublikasikan lebih seabad lalu. Sudah banyak yang mengadaptasi kisahnya dalam bentuk sandiwara radio, serial televisi, maupun film. Mungkin adaptasinya yang terbaru adalah dalam format serial televisi. Seperti Sherlock dan Elementary. Jelas sekali kalau karakter Sherlock Holmes ini sudah diperankan oleh banyak aktor. Guinness World Record pun diraihnya karena hal itu. Mustahil rasanya kalau ada yang belum pernah mendengar nama karakter tersebut. Kecuali orang itu seumur hidupnya tinggal di tempat yang jauh dari peradaban.

Dari sekian banyak adaptasi film Sherlock Holmes, ada satu yang saya rasa cukup unik dalam penyampaian ceritanya. Film ini tidak berdasarkan karya tulis Conan Doyle. Namun diangkat dari novel karya Nicholas Meyer yang berjudul The Seven-Per-Cent Solution: Being a Reprint from the Reminiscences of John H. Watson, M.D. dan ia menulis naskah filmnya juga. Disutradarai oleh Herbert Ross, film ini menyajikan kisah sang detektif yang berbeda. Karena dalam petualangannya kali ini, ia dibantu oleh seorang ahli psikologi terkemuka. Siapa lagi kalau bukan Dr. Sigmund Freud.
Pada tahun 1891, Watson (Robert Duvall) mengunjungi Sherlock Holmes (Nicol Williamson). Watson terkejut melihat sahabatnya histeris seperti orang gila. Holmes terus mengoceh soal Profesor James Moriarty (Laurence Olivier) yang ia anggap sebagai dalang semua kegiatan kriminal di Inggris. Watson merasa temannya membual dan delusional. Ia tahu kalau Holmes begitu karena efek mengonsumsi kokain. Dirasa sudah sulit untuk ditolong, Watson berencana membawa Holmes ke Sigmund Freud (Alan Arkin) untuk menjalani serangkaian terapi atas ketergantungannya pada kokain. Mengingat hal itu akan sulit dilakukan, Watson meminta bantuan kepada Mycroft Holmes (Charles Gray) agar bisa membujuk Holmes.

Sherlock Holmes pun akhirnya menjalani serangkai terapi bersama Freud. Selama ia dirawat, terjadi sebuah kasus kriminal. Yaitu sebuah kasus penculikan seorang wanita yang merupakan pasien dari Freud. Khawatir dengan keselamatan pasiennya, Freud meminta bantuan Holmes untuk memecahkan kasus itu. Kasus yang mereka tangani rupanya ada kaitannya dengan skandal bagi seluruh negara Eropa.
Harus diakui saya sangat terhibur dengan film ini. Saya tidak merasa bosan sedikitpun. Ross dan Meyer sukses menyajikan kisah Sherlock Holmes yang berbeda dari sebelumnya. Kita akan diperlihatkan sosok sang detektif yang rapuh dan berjuang melawan ketergantungannya kepada kokain. Kita akan ditampilkan seorang Sherlock Holmes yang juga bisa berbuat kesalahan. Film ini juga menampilkan masa kelam Holmes yang mampu menjadikannya pribadi yang kita kenal selama ini. Bisa dikatakan, Nicol Williamson mampu memberikan perspektif baru pada karakter Sherlock Holmes.

Alan Arkin sebagai Sigmund Freud pun patut diacungi jempol. Ia mampu menjadi Freud yang berwibawa sebagai cendekiawan dan ahli psikologi. Ia bisa menjadi Freud yang kewalahan dengan segala tingkah Holmes. Ia pun bisa mengimbangi kecerdasan Sherlock Holmes. Bahkan ada satu adegan dimana ia berhasil mengungguli sang detektif. Usaha Arkin dalam membawakan karakter Freud memang layak mendapatkan apresiasi.
Cerita yang ditulis Nicholas Meyer berhasil memberikan nafas segar dalam petualangan Sherlock Holmes kali ini. Ia mampu mengeksplorasi karakter Holmes lebih dalam dan menyuguhkan misteri yang asyik untuk diikuti. Saya setuju dengan juri Oscar yang memasukkan film ini ke dalam nominasi Naskah Adaptasi Terbaik. Ken Adam dan Alan Barrett selaku desainer produksi dan desainer kostum sanggup membuat saya kagum dengan setting dan kostum yang dikenakan masing-masing karakter.

Sayang sekali film ini tidak luput dari beberapa kekurangan. Kalau boleh jujur, aksen British yang digunakan Robert Duvall di film ini terdengar aneh. Tapi masih bisa dimaklumi. Misteri yang ditampilkan memang menarik untuk diikuti. Hanya saja, buat saya misterinya terasa singkat. Investigasinya terasa kurang. Namun setidaknya Herbert Ross bersama Nicholas Meyer sudah berhasil menyajikan kisah berbeda dari Sherlock Holmes yang menghibur. The Seven-Per-Cent Solution adalah salah satu adaptasi favorit saya sejauh ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar