Kamis, 26 Oktober 2017

Blade Runner 2049 (2017)


REVIEW INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER

"Cuk! Film apaan jancuk! Gajelas banget." kata salah satu mas-mas yang duduk di sebelah kanan saya. Ia mengucapkan kalimat "indah" itu saat film telah usai. Bukan salah dia sepenuhnya. Menurut saya, ada beberapa penyebab kenapa mas-mas itu bisa berucap demikian. Pertama, mungkin ia belum pernah menonton film pertamanya. Sehingga ia tidak paham dengan "suasana" dunia Blade Runner dan apa yang menjadi pokok masalah di film itu. Kedua, Blade Runner 2049 memang memiliki tempo bercerita yang lambat sekali. Hal itu memang berpotensi memberikan rasa bosan yang luar biasa bagi penonton yang tidak terbiasa dengan alur penceritaan seperti ini. Ketiga - dan saya yakin - karena trailer film-nya yang agak misleading. Jika mereka menonton trailer-nya, mereka mungkin mengira kalau Blade Runner 2049 adalah sajian action-science fiction. Pada akhirnya, mereka pun tertipu saat menonton film penuhnya. Bahwa film ini bukan seperti yang ditonjolkan pada trailer-nya.
Sebenarnya saya agak kaget waktu Ridley Scott mengumumkan film Blade Runner (1982) akan dibuatkan sekuelnya. Saya dengan PD-nya merasa Blade Runner adalah film yang tidak perlu dibuatkan sekuelnya. Namun, di sisi lain saya juga penasaran dan berpikir "kira-kira apa lagi yang bisa digali dari film itu". Apakah dunia Blade Runner adalah sebagian kecil dari dunia yang lebih luas? Apakah masih banyak misteri yang belum terjawab? Benarkah Deckard seorang replicant? Itulah berbagai pertanyaan yang melayang-layang di benak saya. Perlahan tapi pasti, berbagai pertanyaan itu mulai memudar saat saya menonton filmnya di layar lebar.
Sebelum menonton film ini, saya menyempatkan untuk menonton tiga film pendek prequel-nya dulu. Tiga film pendek tersebut adalah Black Out 2022, 2036: Nexus Dawn, dan 2048: Nowhere to Run. Tidak menonton ketiga film pendek tersebut sebenarnya tidak apa-apa. Sunnah hukumnya. Tetapi jika anda ingin memahami betul Blade Runner 2049 tonton film-film pendek itu selain sudah menonton film pertamanya. Intinya - saran saya - jangan menonton Blade Runner 2049 tanpa bekal apapun. Tonton film pertamanya atau film pendeknya. Alangkah lebih baik jika menonton semuanya.
Sesuai judulnya, film ini mengambil setting waktu pada tahun 2049. Pada tahun itu sudah diciptakan replicant yang patuh dan dapat diandalkan. Salah satu hasil ciptaan itu terwujudkan pada K (Ryan Gosling). K merupakan replicant yang berprofesi sebagai Blade Runner (dulu pekerjaan ini dilakukan oleh manusia) di bawah naungan Kepolisian Los Angeles. K mendapatkan misi untuk "memensiunkan" replicant jenis lama. Penyelidikannya mengarah kepada Sapper Morton (Dave Bautista). Di tempat milik Morton, K menemukan sebuah kotak rahasia. Setelah dibawa ke markas, kotak itu ternyata berisi sisa-sisa replicant yang meninggal akibat komplikasi saat melahirkan. Baru di sinilah konflik film ini muncul. Karena pada dasarnya replicant tidak bisa memiliki keturunan.
Saya tidak akan menyebutkan siapa replicant yang hamil itu. Intinya, setelah K mendapati fakta tersebut ia langsung melakukan penyelidikan. Perjalanannya mengarah kepada Niander Wallace (Jared Leto) - pendiri Wallace Corporation yang setiap kemunculannya terasa mengancam dan selalu melontarkan dialog simbolis penuh metafora. Perusahaan milik Wallace berjalan di bidang produksi replicant setelah berhasil mengambil alih Tyrell Corporation. Perusahaan Wallace yang bertanggung jawab dalam menciptakan replicant yang patuh. Selain itu penyelidikan K juga mengarah kepada suatu rahasia gelap yang berhubungan dengan seorang mantan Blade Runner. Orang itu tidak lain adalah Rick Deckard (Harrison Ford) yang dikabarkan telah menghilang.
Pertama kali menonton film ini saya langsung dibuat takjub akan presentasinya. Muncul suatu perasaan yang sama saat seperti menonton film pertamanya. Mulai dari visualnya hingga universe di dalamnya. Saat itu juga saya mulai berpikir: "Apakah ini yang dirasakan orang-orang saat menonton Blade Runner 35 tahun silam?". Sejak menit pertama, film ini sudah terasa aura misteriusnya. Seakan-akan film ini menegaskan kalau semesta Blade Runner adalah sekumpulan misteri. Misteri-misteri yang menunggu untuk dijawab. Mungkin saja misteri-misteri itu malah sebaiknya tidak usah dijawab karena lebih baik dibiarkan saja menggantung. Bicara soal misteri, mungkin fans Blade Runner atau anda berharap misteri seputar apakah Deckard adalah replicant atau bukan akan terjawab di sini. Well, buat yang berharap akan dapat jawaban sepertinya akan kecewa. Karena baik Ridley Scott maupun Denis Villeneuve (selaku sutradara) tidak memberikan jawabannya.
Blade Runner 2049 dipenuhi dengan karakter-karakter unik. K adalah replicant yang tangguh dan patuh terhadap atasannya. Itulah kodratnya sebagai replicant dengan model Nexus-9, replicant yang akan selalu loyal. Di luar pekerjaannya, K tinggal di apartemen bersama wanita hologram bernama Joi (Ana De Armas). Hubungan keduanya terasa unik dan aneh menurut saya. Unik karena replicant yang notabene tidak memiliki rasa "kemanusiaan" bisa memiliki perasaan terhadap Joi. Aneh menurut saya - karena baik K maupun Joi adalah dua hal yang sebenarnya tidak nyata. Mereka merupakan hasil ciptaan manusia. Sama halnya dengan hubungan antara Rick Deckard dengan Rachael yang mana di film ini berkembang menjadi love story dan konflik utama film ini nantinya. Hubungan antara manusia (saya mengasumsikan Deckard adalah itu) dengan Rachael memunculkan kembali sebuah pertanyaan yang pernah muncul di film A.I. (2001) karya Spielberg: "If a robot could genuinely love a person, what responsibility does that person hold toward that robot in return?". Kaitkan dengan permasalahan film ini yang mempertanyakan soal: "What makes a human... a human?". Mungkin berikut ini bukan jawaban yang pasti, tetapi saya yakin "cinta" adalah jawabannya. Toh, bukankah definisi manusia sejati berasal dari sifat kasih sayang yang dimilikinya?
Meskipun saya benar-benar menyukai Blade Runner 2049, saya bisa disebut pembohong jika mengatakan film ini tidak punya kekurangan. Kekurangan film ini (mungkin satu-satunya kekurangan) adalah temponya yang sangat lambat dan durasinya yang terlalu panjang. Padahal menurut saya ada beberapa scene yang bisa diringkas. Di satu sisi juga beranggapan mungkin inilah yang diinginkan oleh si filmmaker. Kita diposisikan seolah-olah berada di dalam dunia Blade Runner. Ada kalanya saya merasa seperti orang ketiga yang sedang mengikuti keseharian K. Tempo yang sangat lambat mungkin di sengaja oleh si pembuat film agar kita benar-benar merasakan keseharian K yang sepi, hampa, dan monoton (kerja-pulang-kerja-pulang). Pada akhirnya, dengan hal-hal yang saya sudah sebutkan di atas dan paragraf sebelumnya, menjadikan Blade Runner 2049 sebagai film yang bakal asyik untuk didiskusikan bersama teman sambil nongkrong di warung terdekat tempat tinggal anda - ditemani oleh gorengan dan teh/kopi panas. Kemudian mengaitkannya dengan berbagai persoalan hidup di dunia nyata. Entah kenapa, dulu saya berpendapat bahwa Blade Runner adalah semacam satire bagi manusia-manusia yang tidak peka. Well, setidaknya, pandangan saya terhadap film itu sudah berubah. Blade Runner 2049 mungkin tidak se-influential pendahulunya, tetapi ia merupakan ekspansi universe yang mengesankan.

Note: Sebuah nilai plus jika anda menyaksikannya dalam format IMAX. Karena bisa menyaksikannya dalam aspect ratio 1.90:1. Berbeda dengan bioskop reguler yang menayangkannya dalam aspect ratio 2.39:1, sehingga ada sebagian gambar yang "hilang". Tapi masa bodoh sebenarnya, karena cinematography arahan Roger Deakins akan tetap enak dilihat apapun aspect ratio-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar