Jumat, 17 November 2017

Justice League (2017)

Inilah film yang ditunggu-tunggu oleh penggemar komik DC (atau mungkin semua orang). Sebuah film yang mempertemukan beberapa superhero unggulan DC dalam satu frame. Film itu adalah Justice League. Setelah Wonder Woman yang mendapat respon positif dari beberapa kalangan, wajar saja jika banyak orang menaruh ekspetasi tinggi pada film ini. Harus diakui memang kalau WW telah membukakan sedikit jalan bagi DCEU (DC Extended Universe) menuju ke jalan yang benar. Namun yang menjadi pertanyaan (di benak saya): Apakah film ini bisa sebagus WW atau minimal lebih baik dari BvS? Karena sudah pasti kalau Justice League ini memang mengemban beban yang luar biasa.
Datanglah sebuah kabar yang tidak bisa dikatakan buruk namun mengkhawatirkan. Zack Snyder mundur dari proses produksi karena sebuah tragedi keluarga. Kemudian posisinya digantikan oleh sutradara dua seri The Avengers, Joss Whedon dan melakukan beberapa reshoot. Mengkhawatirkan karena baik Snyder dan Whedon memiliki style yang berbeda satu sama lain. Satunya terkenal dengan tone yang dark dan gloomy, satunya lagi - well - kalau anda sudah pernah lihat The Avengers pasti tahu lah. Untungnya, perbedaan style mereka tidak memberikan dampak buruk bagi film ini. Malah terlihat seperti satu padu. Tone film ini pun bisa dibilang terasa konsisten. Kontribusi Whedon tidak bisa dibilang sedikit, meski tidak mendapat credit sebagai sutradara, tetapi namanya tercantum sebagai penulis naskah bersama Chris Terrio.
Justice League melanjutkan apa yang tertinggal dari BvS dan sedikit dari WW. Seluruh dunia sedang berduka atas kematian Superman/Clark Kent (Henry Cavill). Batman/Bruce Wayne (Ben Affleck) dan Wonder Woman/Diana Prince (Gal Gadot) merasa akan ada ancaman lain datang. Dugaan mereka benar. Makhluk kuno bernama Steppenwolf (Ciaran Hinds) kembali dari pengasingan untuk mencari tiga kotak yang - dari sini saya yakin semua orang pasti tahu kalau ketiga kotak itu digunakannya untuk menguasai dunia karena memiliki kekuatan yang luar biasa. Steppenwolf bersama pasukannya - Parademons - siap melakukan apa saja untuk mendapatkan tiga kotak itu.
Selain itu ada Flash/Barry Allen (Ezra Miller), Aquaman/Arthur Curry (Jason Momoa), dan Cyborg/Victor Stone (Ray Fisher) yang bergabung untuk membantu Batman dan Wonder Woman. Mengingat melawan Steppenwolf terdengar seperti hal mustahil dan sadar kalau kotak tersebut punya kekuatan yang hebat (dan juga tak masuk akal), tiba-tiba muncul jiwa Herbert West dan Henry Frankenstein dalam diri Bruce Wayne. Ia berniat untuk membangkitkan Superman dari kematian. Sempat ditentang oleh anggota yang lain karena terakhir kali seseorang (ehem - Lex Luthor) melakukannya, Superman yang menjadi "korban". Namun akhirnya mereka setuju karena itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan dunia.
Hampir seperti yang saya bilang di paragraf pertama, Justice League seakan datang sebagai perwujudan mimpi basah fanboy DC (dan saya). Menyenangkan sekali rasanya melihat para superhero DC berada dalam satu film. Memiliki durasi 120 menit menjadikannya sebagai film DCEU tersingkat (sejauh ini). Durasi yang singkat itu membuat film ini terasa ringan dibanding film DCEU yang lain. Tidak ada plot/sub-plot ambisius yang ingin memasukkan segalanya dalam satu film (I'm looking at you BvS). Durasi yang singkat itu pula membuat Justice League keteteran dengan banyaknya supporting character seperti Lois Lane (Amy Adams), Martha Kent (Diane Lane), Mera (Amber Heard), Hippolyta (Connie Nielsen), dan Jim Gordon (J.K. Simmons) terasa underdeveloped. Begitu juga dengan Steppenwolf yang harusnya bisa menjadi villain terkuat di jagat DCEU. Dia terlihat keren di awal-awal film. Kemudian menjadi mediocre menjelang akhir. Ia tidak terasa mengancam dan ruang lingkupnya terasa kecil. Seakan-akan dunia tidak tahu kalau ada ancaman dari Steppenwolf.
Meski di selimuti oleh beberapa kekurangan, Justice League memiliki banyak keunggulan. Saya suka sekali chemistry antar karakternya. Mungkin yang paling menonjol adalah Miller sebagai Barry Allen dan interaksinya kepada karakter lain. Melihat penampilannya membuat saya tidak sabar ingin menonton film solonya. Jokes-nya sendiri banyak yang hit dan miss. Tetapi saya tertawa terbahak-bahak waktu dia nyeletuk "Pet Sematary" sementara penonton yang lain pada diam semua. Kesimpulannya jokes film ini masih dalam kategori berhasil (Shame on you, Suicide Squad). Gadot sebagai Diana Prince masih bisa mencuri perhatian dengan karisma yang dimilikinya. Begitu juga dengan Jason Momoa sebagai Limbad Aquaman yang entah kenapa waktu nonton tiba-tiba teringat Thor. Fisiknya terlihat sangar seperti personel Metallica atau Megadeth. Fisher sebagai Cyborg baik-baik saja. Sedangkan Affleck sebagai Batman yang karismanya tampak terbayangi oleh karakter yang lain. Terakhir, tentu saja Cavill sebagai Superman yang muncul (baca: bangkit) di pertengahan durasi. Kemunculannya yang shirtless lengkap dengan bulu dada mungkin penyebab mbak-mbak (atau mungkin tante-tante) yang duduk di depan saya bisa heboh sendiri.
Klimaksnya sendiri - menurut saya - terasa kurang megah (epic) dan kurang stylish sebagaimana film Snyder yang lain. Meskipun demikian, Snyder dan Whedon masih bisa menampilkan serangkaian adegan aksi yang seru dan sangat menghibur. Semua itu berkat kepiawaian Fabian Wagner dalam menampilkan shot-shot luar biasa. Musik gubahan Danny Elfman juga dalam membangun suasana filmnya. Apalagi ia juga memasukkan Batman Theme dan Superman Theme di film ini. Hanya saja terdengar sayup-sayup tertutup oleh suara yang lain. Setidaknya saya terpuaskan dengan kehadiran Superman di klimaksnya. Melihatnya menghajar Steppenwolf seperti melihat Goku bertarung dengan Vegeta di salah satu episode Dragon Ball. Mungkin bukan salah satu film DCEU yang terbaik. Tetapi Justice League adalah yang paling menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar