Senin, 14 Agustus 2017

Ashes of Time (东邪西毒) (1994)


REVIEW INI MUNGKIN MENGANDUNG SEDIKIT SPOILER

Sampai dengan review ini ditulis, saya baru menonton tiga film karya sutradara Wong Kar-Wai. Tiga film beliau yang sudah saya tonton adalah Chungking Express, My Blueberry Nights, dan Ashes of Time. Kali ini Ashes of Time yang akan saya bahas. Awalnya, saya penasaran dengan film ini karena ia bergenre martial arts atau lebih tepatnya Wuxia. "Wong Kar-Wai bikin film martial arts?" itulah pertanyaan yang terbesit di benak saya. Saya cuma tahu kalau Wong Kar-Wai hanya membuat film-film drama dan waktu itu saya belum tahu film beliau yang berjudul The Grandmaster. Akhirnya, saya pun menonton film ini.

Ashes of Time terinspirasi dari novel berjudul The Legend of the Condor Heroes karya Louis Cha. Alih-alih mengadaptasi langsung novelnya, WKW hanya mengambil karakter-karakter yang ada di dalamnya dan membuat sebuah cerita baru dengan versinya sendiri. Bisa dibilang, film ini adalah prequel dari novel tersebut. Cerita yang beliau buat mengambil setting waktu beberapa tahun sebelum novelnya. Beliau mengambil beberapa karakter penting dari novelnya dan menambah beberapa karakter baru. Saya memang belum pernah membaca novelnya. Menurut beberapa artikel di internet, di novelnya memang tidak diberikan rincian mengenai asal-usul karakternya.

Menurut Wikipedia, ada dua versi dari film ini. Theatrical Version dan Redux. Masing-masing berdurasi 100 dan 93 menit. Theatrical Version kabarnya masih beredar di area Hong Kong sana namun sulit untuk dicari. Ditambah, original print-nya sudah rusak dan beberapa bagiannya hilang. WKW memutuskan untuk merestorasi dengan bermodalkan original print seadanya, re-editing, re-scoring, dan memotong tujuh menit durasinya. WKW tidak mungkin melakukan syuting ulang, mengingat aktor Leslie Cheung sudah menghadap Yang Maha Kuasa. Jadilah versi Redux. Hanya versi ini yang banyak beredar di pasaran. Kebetulan saya menonton yang versi Redux. Jadi versi ini yang akan saya bahas.
Ashes of Time membagi filmnya menjadi lima babak. Setiap babaknya memiliki kisah yang berbeda. Meski demikian, kelimanya memiliki satu kesamaan, yakni karakter Ouyang Feng (Leslie Cheung) yang selalu muncul di setiap babaknya. Di novelnya ia adalah karakter antagonis. Sedangkan di film ini ia merupakan protagonis, bahkan bisa dikatakan kalau ia adalah karakter utamanya. Di film ini Ouyang Feng diceritakan sebagai ahli memecahkan berbagai macam permasalahan. Ia juga merangkap sebagai agen pembunuh bayaran. Karena terkadang ia mendapat permintaan dari kliennya untuk membunuh seseorang. Nantinya WKW memberi kita clue kenapa ia nanti bisa menjadi antagonis di novelnya. Itu pun lebih banyak dijelaskan secara tersirat.

ACT I: SPRING AWAKENS
Di bagian ini dikisahkan Ouyang Feng sedang dikunjungi oleh Huang Yaoshi (Tony Leung Ka-Fai). Mereka saling mengobrol. Dalam obrolan tersebut Huang Yaoshi curhat kalau dia disukai oleh seorang wanita (Carina Lau). Ternyata wanita itu adalah istri dari sahabatnya - Pendekar Buta (Tony Leung Chiu-Wai). Ia tahu kalau istrinya direbut oleh Huang Yaoshi sehingga ia mengancam untuk membunuhnya. Untung hal itu tidak jadi karena ia mulai kehilangan penglihatannya (waktu itu masih belum buta sepenuhnya). Dalam obrolan itu Huang Yaoshi juga curhat kalau dia mulai kehilangan ingatan. Hal itu disebabkan oleh anggur ajaib yang diminumnya.

Pada bagian ini juga dikisahkan Ouyang Feng sedang menerima job dari Murong Yang (Brigitte Lin). Ia menyuruh Ouyang Feng membunuh Huang Yaoshi karena telah meninggalkan adiknya - Murong Yin (diperankan oleh Brigitte Lin juga). Anehnya, Murong Yin menyuruh Ouyang Feng membunuh kakaknya karena ia merasa dikekang, tidak boleh bersama Huang Yaoshi.
ACT II: SUMMER RISES
Di bagian ini dikisahkan Ouyang Feng didatangi oleh Pendekar Buta untuk melamar pekerjaan. Si Pendekar butuh uang agar bisa pulang kampung karena ia kangen dengan istrinya dan ingin melihat "Bunga Persik". Di saat yang bersamaan datanglah seorang gadis (Charlie Young) yang meminta tolong kepada Ouyang Feng untuk membunuh sekelompok bandit yang sudah membunuh adiknya. Sayangnya, Gadis itu tidak punya uang. Ouyang Feng lantas menolaknya. Mendengar hal ini, Pendekar Buta bersedia membantu gadis itu.

ACT III: AUTUMN TURNS
Ouyang Feng mendatangi seorang pendekar miskin bernama Hong Qigong (Jackie Cheung). Hong saat itu sedang kehabisan uang dan kelaparan. Ouyang Feng menawarkan pekerjaan kepadanya untuk melanjutkan tugas Si Pendekar Buta. Hong tidak berpikir panjang untuk menerima tawaran Ouyang. Meskipun Hong Qigong adalah orang yang gila kejayaan dan kekayaan, sebenarnya ia adalah orang yang sangat baik hati.

ACT IV: WINTER FADES
Ouyang Feng mengunjungi kampung halaman Si Pendekar Buta dan menemui istrinya. Kemudian di sini juga di ceritakan sedikit masa lalu dari Ouyang Feng. Dulu Ouyang Feng pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita (Maggie Cheung). Sayang, hubungan itu kandas karena wanita itu memilih untuk menikahi kakaknya Ouyang.
ACT V: SPRING RETURNS
Cerita kembali ke awal seperti yang ada di ACT I. Di sini kita melihat keseharian Ouyang Feng dalam melakukan pekerjaannya. Namun ada satu hal yang berbeda. Di bagian ini dikisahkan Ouyang Feng memantapkan hati meninggalkan tempat tinggalnya dan menuju ke daerah barat.

Jujur, awalnya saya kesulitan mencerna film ini. Mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama saya belum pernah baca novelnya sehingga masih belum paham konsep universe-nya. Kedua adalah banyaknya karakter di sini dan mereka punya cerita sendiri-sendiri. Tidak hanya itu, setiap karakter yang ada saling berhubungan dengan karakter yang lain. Sehingga menciptakan sebuah sub-plot baru. Ketiga, Wong Kar-Wai menulis cerita film ini dengan alur non-linear. Alurnya melompat-lompat. Kita diajak menyaksikan cerita seorang karakter. Belum selesai dengan karakter itu, WKW mengajak kita melihat cerita yang lain. Kemudian baru menyelesaikan cerita yang tadi. Sulit juga menentukan mana alur yang maju, flashback, dan imajinasi karakternya. Karena WKW memberikan batas yang sangat tipis.

Hal-hal di atas membuat film ini memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Bisa dianggap kelebihan karena Ashes of Time merupakan sajian wuxia yang berbeda. Jika film-film wuxia lain sekedar menampilkan good vs evil, film ini meletakan dirinya dalam posisi abu-abu. Masing-masing karakter punya permasalahan dan motivasi sendiri. Wuxia juga identik dengan ajang pamer fight scene. Film ini punya itu. Hanya saja WKW membuat adegan bertarung itu muncul seperlunya - tidak banyak dan seringkali ditampilkan dengan gerak patah-patah.
Ashes of Time dianggap memiliki kekurangan karena storyline-nya yang kompleks. Terlalu kompleks malah. Seperti yang sudah saya singgung, film ini punya alur non-linear. Ceritanya saling tumpang tindih. Sehingga dibutuhkan konsentrasi yang tinggi. Hal itu mungkin menyebabkan penonton awam akan merasa kesulitan menontonnya. Selain itu, alih-alih menampilkan banyak fight scene, Wong Kar-Wai lebih asyik bermain dengan dialog antar karakternya. Dialognya pun sangat puitis dan filosofis. Hampir semua dialog yang ditampilkan di sini sukses membuat saya berkata "ciaaahh...". Menurut saya dialognya memang keren. Saking kerennya, saya merasa kalau semua dialog di film ini cocok dijadikan caption foto di Instagram atau status di sosmed lain biar yang bersangkutan terlihat seperti orang yang romantis dan puitis.

Ashes of Time memiliki berbagai karakter unik. Murong Yang dan Murong Yin adalah salah satunya. Mereka unik karena dua-duanya diperankan oleh Brigitte Lin. Murong Yang adalah sosok lelaki yang keras, sedangkan Murong Yin adalah sosok wanita yang merasa kebebasannya dibelenggu oleh sang kakak. Sebetulnya, Murong Yin dan Murong Yang adalah satu kepribadian yang tersiksa secara batin maupun seksual karena di PHP oleh Huang Yaoshi. Itulah mengapa ia bisa memiliki kelainan, yakni kepribadian ganda. Mungkin WKW punya maksud tersendiri saat menulis karakter ini. Coba ambil nama belakang dari kedua karakter tersebut kemudian gabungkan. Akan terbentuk kata "Yin-Yang". Pada dasarnya Yin-Yang adalah dua hal yang berbeda namun merupakan satu kesatuan.

Kedua ada istrinya Pendekar Buta. Wanita itu merasa tidak "dipuaskan" oleh suaminya. Alhasil, wanita itu lebih menyukai Huang Yaoshi. Sayang, Huang tidak menanggapi cintanya. Wanita itu pun sedih. Akhirnya, wanita itu lebih memilih "bersenggama" dengan kuda peliharaannya. Semua itu disebabkan oleh rasa sakit hati yang berkepanjangan.
Terakhir ada Huang Yaoshi. Ia sadar kalau ia sudah menyebabkan permasalahan bagi banyak orang dan dirinya sendiri. Huang Yaoshi memutuskan untuk menenggak anggur ajaib. Sebuah minuman yang bisa membuat orang yang meminumnya hilang ingatan. Itu dilakukannya semata-mata karena ia ingin lepas dari berbagai macam permasalahan. Menurutnya penyebab setiap permasalahan manusia berasal dari kenangan. Inilah contoh sosok manusia yang sulit untuk move on.

Ashes of Time tak ubahnya seperti karya Wong Kar-Wai yang lain. Film-filmnya selalu menampilkan sekumpulan pribadi yang kesepian, ditinggal orang tercinta dan sulit move on, serta punya impian namun sulit mencapainya. Itulah elemen-elemen yang saya suka di setiap film beliau. Karena sifat-sifat itu mudah sekali ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Itulah juga kenapa saya sering merasa klop dengan film-film beliau. Menurut saya - meski film ini punya setting waktu beberapa abad lalu, sebenarnya film ini adalah representasi atau gambaran kehidupan masyarakat masa kini.

Soal visual, film ini tidak usah diragukan lagi. Wong Kar-Wai memang ahlinya. Ia bersama sang cinematographer - Christopher Doyle (Chungking Express, Hero) sukses memberikan presentasi visual yang mengagumkan. Editing-nya pun patut diacungi jempolan. Karena mampu menghubungkan serangkaian adegan dengan sangat halus meski alurnya lompat-lompat. Ashes of Time mungkin harus ditonton lebih dari sekali agar bisa memahami secara utuh. Harapannya agar bisa menemukan sesuatu yang baru dari film ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar