Jumat, 20 Januari 2017

La La Land (2016)

Waktu denger kabar film La La Land ini mau masuk bioskop Indonesia, entah kenapa rasanya seneng banget. Soalnya jarang-jarang film kelas festival kayak gini masuk bioskop lokal. Terlebih lagi itu genre-nya musikal. In my opinion, di Indonesia film musikal sendiri peminatnya nggak seberapa di banding dengan film yang genre-nya action atau yang lain. Soalnya dulu waktu nonton Les Miserables (2012) penontonnya cuma sedikit (dan banyak yang ketiduran). Makanya itu sempet pesimis film ini bisa masuk kesini. Thanks God, finally I can watched this movie in big screen. Jauh sebelum filmnya rilis, La La Land sudah mendapat tanggapan yang positif. Jadi wajar saja kalau sebelum nonton filmnya - seenggaknya sudah memasang ekspetasi yang tinggi. Film ini di sutradarai dan naskahnya di tulis oleh Damien Chazelle yang 2014 lalu menghasilkan Whiplash yang sukses besar dan memenangkan beberapa nominasi pada ajang Academy Awards.
Di buka dengan tulisan Cinemascope, langsung saja film ini mengingatkan kita akan film-film musikal Technicolor tahun 1950-an macam Singin' in the Rain (1952) atau film musikal produksi studio MGM. Pada opening-nya kita di sambut oleh nyanyian dan tarian di tengah-tengah kemacetan. Adegan itu di tampilkan secara long take. Kemudian di tutup dengan tulisan besar yang tidak lain adalah judul film ini. Sampai disini bisa di simpulkan La La Land adalah sebuah tribute bagi film-film musikal zaman dulu. Setelah itu cerita berpindah kepada dua manusia yang masing-masing bernama Mia (Emma Stone) dan Sebastian (Ryan Gosling). Mia merupakan seorang barista yang bercita-cita menjadi aktris film. Berbagai audisi sudah diikutinya. Namun, ia selalu gagal. Meski ia sering gagal, ia tidak pernah putus asa. Lalu ada Sebastian - seorang pianis jazz yang idealis. Sebastian ingin membuka klub jazz sendiri dimana ia bisa bermain musik jazz dengan bebas. Sayang hal itu terkendala tatkala Sebastian sendiri tak punya penghasilan tetap. Ia berkeliling klub demi klub untuk mencari pekerjaan sebagai pianis. Tentu saja hal itu berlawanan dengan keinginannya. Tapi ia selalu optimis dapat mewujudkan impiannya suatu saat nanti.
Di awal-awal durasi, dua karakter ini belum bertemu. Baru nanti pada satu adegan mereka akan bertemu. Pada dasarnya, La La Land adalah sebuah tentang dua manusia yang berjuang meraih impian masing di tengah kemegahan kota Los Angeles - kota malaikat kata mereka. Awal mula pertemuan Mia dengan Sebastian tidaklah mulus. Mereka terkesan tidak akur. Seiring film berjalan, akhirnya mereka merasa ada sesuatu di antara mereka. Proses bagaimana dua orang ini menjadi dekat adalah hal yang menarik untuk di tonton selain unsur musikal yang ada. Sebastian mungkin yang paling menonjol. Di mana ia terus berusaha meyakinkan Mia untuk jangan putus asa dalam meraih impiannya. Ia adalah pecinta sejati musik jazz. Lihat saja bagaimana ia berceramah soal apa dan bagaimana musik jazz itu kepada Mia. Serta bagaimana ambisinya untuk memiliki klub jazz sendiri.
I think  - Sebastian adalah representasi dari sosok Damien Chazelle, sutradara film ini. Kita lihat saja filmnya yang berjudul Whiplash. Film itu pun tidak lepas dari unsur-unsur musik jazz. Bisa di katakan bahwa Sebastian (atau mungkin film ini) adalah perwujudan rasa cinta Damien Chazelle terhadap musik jazz. La La Land laksana sebuah surat cinta terhadap musik jazz tersebut. Sementara itu kita pindah sejenak pada karakter Mia. Mungkin sebagian orang merasa kalau Mia ini adalah orang yang pesimis. Terlihat bagaimana ia terus-terusan di motivasi oleh Sebastian. To me, Mia adalah sesosok wanita yang berpikir realistis. Ia mengerti bagaimana keadaan di sekitarnya yang tidak memungkinkan bagi dirinya untuk berusaha mewujudkan impiannya. Jadi, ia selalu memperhatikan betul setiap keadaan.
Pada dasarnya, karakter Mia dan Sebastian ini nggak dalem-dalem amat. Motivasi mereka dalam meraih impian dari nol mungkin sudah kita lihat berkali-kali di film lain. Tapi yang jadi kelebihan dari dua karakter tersebut adalah chemistry yang di tampilkan oleh Emma Stone dan Ryan Gosling. Merekalah yang paling dominan di film ini. Pesona mereka sampai-sampai mengalahkan pemeran yang lain. Seolah-olah para pemeran yang lain cuma sebagai karakter lewat atau pemanis semata. Merekalah jiwa dan nyawa film ini selain unsur musikalnya. Semua berkat keberhasilan mereka dalam menghidupkan karakter yang mereka perankan. Suka bagaimana Chazelle menampikan bagaimana nasib mereka di akhir film ini. Kita di giring menuju ending sambil berandai-andai "what if...". Sebuah ending yang bittersweet namun indah secara bersamaan.
Jujur, jazz music isn't my cup of tea. Tapi, semua musik yang ada di film ini terasa enak sekali untuk di dengar. Transisi di mana akan memasuki suatu adegan bernyanyi terasa halus. Tidak terkesan maksa. Musiknya pas sekali dengan segala adegan yang ada. Sulit memuji-muji film ini tanpa menyebut sinematografinya. Linus Sandgren berhasil menangkap gambar-gambar indah layaknya film musikal klasik dengan warna ala-ala TechnicolorNot to mention - pergerakan kamera yang dinamis namun selaras dengan adegan musikal yang ada. Paling suka waktu adegan di planetarium itu. Susah untuk melupakan adegan itu. Mungkin satu-satunya kekurangan film ini adalah di bagian pertengahan yang agak menjemukan.
Overall, in this third collaboration between Ryan Gosling and Emma Stone, La La Land has done something beyond from my expectation. It was fun, exciting, and beautifully shot. Honestly, I ain't a fan of jazz music. But I must admit that I quite enjoy the music. The music itself perfectly fits in every single scene in here. Ryan Gosling and Emma Stone are the rock stars in this movie. Together, they can make this movie more alive with their chemistry. It's a kind of movie that you must see in cinema. Watching La La Land is like - having masturbation and when it reaches the climax, it'll make you a happier person than before. Almost perfect!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar