Sabtu, 15 Desember 2018

The Other Side of the Wind (2018)


TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SEDIKIT SPOILER

Orson Welles adalah salah satu sutradara terbaik yang pernah dimiliki oleh perfilman Hollywood, atau mungkin dunia. Terdengar pretentius memang. Namun, film-film hebat seperti Citizen Kane, Touch of Evil, hingga The Trial lahir dari tangan dinginnya. Harus diakui pula, namanya mampu bersanding dengan nama-nama besar lainnya, seperti Alfred Hitchcock, John Ford, dan sebagainya. Sayang, Orson Welles masih terdengar asing bagi pecinta film saat ini. Padahal, Citizen Kane seringkali memasuki peringkat teratas film-film terbaik. Namanya masih kalah beken bagi pecinta film saat ini jika dibandingkan dengan Christopher Nolan, Wes Anderson, atau mungkin Damien Chazelle (dan jujur - saya juga mengidolakan tiga nama barusan).

Hampir semua kritikus hingga akademisi film sepakat kalau Citizen Kane adalah karya terbaik Orson Welles, bahkan film terbaik sepanjang masa (dan biasanya bersanding dengan Touch of Evil). Welles sendiri tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Menurutnya, The Other Side of the Wind adalah film terbaiknya. Pertanyaannya adalah: Film apa itu? Pertanyaan itu mengambang selama kurang lebih 40 tahun. Karena Wind punya nasib yang sama seperti beberapa film Welles lainnya: TIDAK TERSELESAIKAN.
Pada tahun 1970, Orson Welles - yang saat itu berusia 55 tahun - kembali ke Hollywood setelah beberapa tahun mengasingkan diri di Eropa. Tujuannya kembali adalah ingin melakukan "epic comeback" dengan membuat film The Other Side of the Wind. Seperti yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya, film ini diyakini oleh Welles akan menjadi karya terbaiknya. Proses produksi pun akhirnya dimulai. Shooting film tersebut tidak berjalan lancar dan tersendat-sendat hingga awal 1976. Kemudian film itu memasuki masa pasca-produksi hingga tahun 1980-an. Karena masalah hukum, finansial, dan politik, film itu tidak bisa diselesaikan. Sampai Orson Welles sendiri meninggal tahun 1985, filmnya masih belum selesai. Hebatnya, meskipun mengalami berbagai macam kendala, Welles berhasil mendapatkan lebih dari 100 jam footage. Selain itu, beliau meninggalkan catatan, memo, dan sebagainya yang nanti akan sangat berguna untuk menyusun kembali filmnya hingga siap ditayangkan.

Film ini dibuka dengan sebuah narasi oleh Brooks Otterlake (Peter Bogdanovich) - seorang sutradara yang merupakan murid Jake Hannaford (John Huston) - seorang filmmaker yang disebut-sebut sebagai Ernest Hemingway-nya dunia sinema. Otterlake menceritakan hari-hari terakhir Hannaford sebelum akhirnya meninggal dalam kecelakaan mobil di hari ulang tahunnya yang ke-70. Jake Hannaford adalah seorang sutradara yang berada di penghujung karirnya. Ia berencana membuat sebuah "comeback" dengan membuat film avant-garde berjudul The Other Side of the Wind (apa anda mulai melihat korelasi disini?). Dalam pembuatannya, Hannaford menjumpai berbagai masalah. Mulai dari masalah finansial hingga sang aktor utama (Bob Random) yang tiba-tiba meninggalkan proses produksi. Walaupun filmnya tidak selesai, Hannaford tetap mengadakan private screening di pesta ulang tahunnya.
Bagi saya, The Other Side of the Wind bukanlah film biasa. Melainkan sosok Orson Welles itu sendiri. Meski Welles bersikukuh film ini murni fiksi, tapi saya yakin para penontonnya akan merasa film ini adalah sebuah semi-otobiografi. Dikarenakan banyak hal di film ini yang memiliki kesamaan dengan kehidupan Orson Welles (atau mungkin John Huston yang notabene seorang sutradara juga). Kisah Jake Hannaford yang kesulitan menyelesaikan filmnya benar-benar merepresentasikan pribadi Orson Welles. Faktanya, Welles seringkali kesulitan saat akan membuat sebuah film. Entah karena masalah finansial maupun visinya yang tidak sejalan dengan para produser dan studio. Oleh sebab itu, beberapa filmnya tidak terselesaikan. Seakan-akan keberhasilannya di film Citizen Kane tidak menjamin karirnya di perfilman.

Kemudian karakter Brooks Otterlake yang diceritakan sebagai sutradara muda yang sedang naik daun juga benar-benar mencerminkan pemerannya - Peter Bogdanovich. Di kehidupan nyata, Bodganovich merupakan sutradara yang sedang menikmati kesuksesannya lewat film The Last Picture Show dan Paper Moon. Selain itu, beliau juga menjadi sahabat sekaligus murid Orson Welles - sebagaimana karakter Otterlake di film ini. Sehingga lewat film ini, saya berkesimpulan bahwa Welles sedang mencoba membuat "replika" dari industri perfilman di Hollywood, sekaligus membuat satire terhadap orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Sulit membicarakan The Other Side of the Wind tanpa menyebut sinematografi arahan Gary Graver. Graver berhasil memberikan sensasi unik pada presentasinya dengan shot-shot tidak biasa yang kental akan gaya dokumenter. Gayanya mengingatkan saya pada film Welles sebelumnya yang berjudul F for Fake. Gambar tangkapan Graver pun mampu disempurnakan oleh Bob Murawski (The Hurt Locker, Spider-Man) selaku editor (yang sebelumnya beberapa adegan sudah di-edit oleh Welles sendiri). Murawski seolah-olah paham betul bagaimana style Welles sampai ke akar-akarnya. Ada banyak sekali jump-cut di filmnya. Namun anehnya, semua itu masih enak untuk dilihat. Tidak terasa berantakan sama sekali.

Perlu saya tekankan lagi, The Other Side of the Wind betul-betul bukanlah film yang akan mudah disukai oleh banyak orang. Ditambah lagi dengan gaya bertutur ceritanya yang agak sukar untuk diikuti. Mengingat film ini memiliki unsur "film di dalam film". Namun saya yakin, penonton lama-lama akan terbiasa dengan penceritaan seperti ini. Terlepas dari semua kekurangan yang ada, kita sebagai penonton harusnya berterimakasih karena bisa menonton film terakhir dari Orson Welles ini. Apresiasi tertinggi juga wajib diberikan kepada Netflix, Peter Bogdanovich, dan Frank Marshall yang bertahun-tahun berjuang agar film ini dapat disaksikan oleh khalayak umum. The Other Side of the Wind mungkin tidak se-epic Citizen Kane atau mungkin Touch of Evil. Tapi yang jelas, film ini selalu punya tempat spesial di hati saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar